Pak Karyo



Pak Karyo namanya, seorang penjual cilok keliling di dekat alun-alun kidul Yogyakarta. Binaran lampu menerangi Yogyakarta, malam itu Yogyakarta ramai sekali, seolah begitu banyak obrolan yang ingin diperbincangkan banyak manusia, syahdu rasanya. Nyaman, romantis, dan asik, adalah tiga kata yang menggambarkan saat itu.

Adalah Pak Karyo, seorang penjual cilok keliling yang hampir tiap malam berada di alun-alun kidul Yogyakarta. Mencari nafkah dimulainya setiap habis subuh, dengan membawa 250 cilok setiap harinya. Malam itu, setelah seharian berjualan cilok, ia tak langsung istirahat di atas ranjang sederhana miliknya, namun menyiapkan cilok bersama istrinya untuk dijual esok hari.

Ia mengelilingi Yogyakata setiap harinya, dari mulai sekolahan sampai tempat wisata ia datangi. Tak tanggung-tanggung, puluhan kilometer ia jajaki agar dagangannya terjual habis.

Hampir tiap malam ia berada di alun-alun kidul Yogyakarta, dengan sepeda gerobak khas cilok yang ia bawa, habis tidak habis, ia selalu disana. Entah apa yang ada dibenaknya, mungkin, memang ia butuh tempat istirahat dan sedikit merenungkan kehidupannya.

Dengan membawa uang yang terlipat-lipat hasil berdagangnya, ia pulang ke rumah dengan sumringah, sebab, ia bisa menafkahi keluarganya. "Memang tak seberapa, yang penting berkah," katanya.

Tiba di rumah, Pak Karyo menyalami istri dan ketiga anaknya, Fajar, Iqbal, dan Fitri, mereka masih duduk di bangku sekolah. Meskipun hanya pedagang cilok, Pak Karyo masih bisa menyekolahkan anak-anaknya. Istri dan anak-anaknya pun tidak menuntut apa-apa, yang terpenting bagi mereka adalah pak Karyo pulang membawa rezeki yang halal dan berkah.

Dengan peluh dan kulit yang sudah mulai mengkeriput, Pak Karyo terus bersemangat mencari nafkah agar dapurnya tetap mengebul. Tak peduli panas dan hujan, senyum keluarga di rumah menjadi pecutan semangat bagi pak Karyo.

Dengan pijatan rasa cinta dari istrinya, Pak Karyo beristirahat di atas kursi bambu miliknya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Industri Era Milenial

Kalau Cinta, Ya Perjuangin

Melihat dari Kacamata Kemerdekaan

Juni